Ingin Mencari Website Yang Relevan?

Google

Ingin Duit Dari Internet?

Selasa, 22 April 2008

Bagai "Septic Tank" di Rumah Kita

Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah ibu kota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya dikepung bisnis jasa seks itu. (Oleh Ilham Khoiri & Jimmy S Harianto, Kompas, Minggu, 20 April 2008)
Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan, pangkalan Angkatan Laut (Armatim, Armada Timur), dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19, Surabaya sudah dikenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi sejarah Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864, terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an, muncul lokalisasi yang terkenal, yaitu Kembang Jepun. Para pelacur di situ melayani hasrat seks tentara yang mencari hiburan di tengah perang. Setelah kemerdekaan, bisnis seks di kota ini bukannya berhenti, tetapi malah semakin marak.
Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Wonokromo.
Saat perpindahan itu, muncul sindiran terkenal di tengah rakyat. Bir temulawak, balon Jagir pindah neng Jarak," Kata Kartono, mantan germo di Jarak.
Kawasan pelacuran besar juga berkembang di bagian utara Surabaya, tepatnya di Bangunsari/ Bangunrejo, Kecamatan Krembangan. Tak jauh dari situ, ada lagi bisnis jasa seks di Kremil. Para pelacur di kedua tempat ini melayani kalangan kelas bawah, terutama para awak kapal dari Tanjung Perak.
Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Surabaya, terdapat kompleks pelacuran Moroseneng, di Desa Sememi, Kecamatan Benowo. Berdampingan dengan lokasi ini, tumbuh juga kegiatan pelacuran di Desa Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. Kedua kawasan ini biasa digunakan untuk pelesiran kalangan menengah.
Menurut hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gajah Mada dan International Programme on the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC), total PSK yang tercatat di enam kawasan itu sebanyak 8.440 orang. Namun, angka yang sesungguhnya diperkirakan mencapai 12.432 orang.
Jumlah itu belum memperhitungkan praktik prostitusi liar yang berlangsung di beberapa titik, seperti di kompleks makam Kembang Kuning-Sido Kumpul, di kawasan Jalan Diponegoro, atau di kawasan sekitar monumen bambu runcing di Jalan Panglima Sudirman. Apa mau dikata, Kota Surabaya seperti dikepung praktik pelacuran. Wajar saja, jika tahun 1980-an, kota ini sempat diolok-olok sebagai "kota prostitusi".
Dolly
Di antara enam kawasan pelacuran itu, Dolly-lah yang menjadi primadona. Saking masyhurnya, sampai banyak kalangan yang beranggapan, Dolly sudah jadi salah satu ikon Kota Surabaya. Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota itu kalau belum mampir ke sana.
Dolly memang punya sejarah unik, lokasi strategis, dan cara menjajakan pelacur yang dramatis. Menurut Tjahjo Purnomo Wijadi, peneliti Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS), yang pernah meneliti prostitusi Dolly untuk Skripsi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pada mulanya Dolly hanyalah kawasan pemakaman China di daerah pinggiran kota yang sepi. Tahun 1960-an , makam itu banyak dibongkar untuk dijadikan hunian.
Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu.
"Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an," kata Tjahjo.
Seiring dengan perkembangan zaman, Dolly menjelma sebagai lokalisasi yang strategis di tengah kota dan dikelilingi pemukiman padat. Atraksi penawaran PSK dengan memajang mereka dalam etalase kaca seperti "ikan dalam akuarium" punya daya tarik tersendiri. Meski tak tampak ada papan nama bertuliskan "Dolly", daerah itu menjadi magnet yang menggaet para lelaki penggemar pelesiran.
"Septic tank"
Kenapa prostitusi tumbuh subur di Surabaya?
"Karena Surabaya itu kota besar dan kota pelabuhan. Banyak orang singgah di sini dan itu pasar bagi prostitusi. Artinya, ujung-ujungnya kan soal supply and demand," kata L Dyson P, Ketua Program Studi S-3 Ilmu-ilmu Sosial di Unair Surabaya.
Fenomena prostitusi menggeliat bersama perkembangan kota. Hampir semua kota di dunia punya kawasan "lampu merah".
"Pada kasus Surabaya, germo dan pelacur sangat berperan dalam membuka kawasan baru dan mengembangkannya jadi kota," kata Dyson menambahkan.
Menurut guru besar Ilmu Sosial Unair, Soetandyo Wignyosoebroto, suka atau tidak suka, pelacuran memang nyata-nyata ada dan hidup bersama masyarakat Surabaya. Kegiatan itu ada karena punya fungsi sosial. "Prostitusi di kota itu bagaikan septic tank di rumah kita. Fungsinya untuk menampung kotoran atau sampah." katanya.
Terlepas dari kaca mata moral, lokalisasi justru penting untuk mengumpulkan dan mengontrol "barang najis" di satu kawasan tertentu. Di situ pemerintah bisa mengawasi persoalan kesehatan, keamanan, narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Jika lokalisasi ditutup, barang najis itu akan berceceran ke mana-mana dan menjadi semakin sulit dikendalikan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Informasi yang menarik tentang Septic Tank