Ingin Mencari Website Yang Relevan?

Google

Ingin Duit Dari Internet?

Rabu, 23 April 2008

Memahami, Tidak Menerima

(Survey Litbang Kompas, Minggu 20 April 2008)
Sikap masyarakat terhadap pelacuran agaknya mendua. Mereka umumnya menunjukkan pemaklumannya mengapa seorang perempuan jatuh menjadi pekerja seks komersial (PSK). Mereka percaya, menjadi PSK sebenarnya bukanlah karena kemauan sendiri, tetapi umumnya karena terdesak oleh kesulitan ekonomi. Hanya saja dengan pemahaman itu, bukan berarti mereka lantas bisa menerima praktik pelacuran. Sebagian besar responden menyatakan lokalisasi harus diberantas.
Itulah hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan tanggal 15-16 April 2008 melalui telepon pada 377 responden berusia di atas 17 tahun. Responden dipilih secara acak dari Buku Petunjuk Telepon Surabaya. Lebih khusus, lokalisasi yang dimaksud dalam survei ini adalah Dolly, yang pasti tidak asing lagi di Surabaya. Hasil survei ini harus dianggap bukan pendapat seluruh warga Surabaya.
Terhadap pertanyaan, apakah seseorang menjadi PSK karena kemauan sendiri atau karena terdesak keadaan, 77,8 persen responden menjawab karena "terdesak keadaan".
Dengan berbagai latar belakangnya, apakah menurut para responden pelacuran bisa diberantas? Disini yang menjawab "tidak bisa" cukup besar, yakni 62 persen.
Kalau begitu, upaya penertiban sia-sia, dong? Dalam arti, PSK tidak bisa alih profesi? Hampir separuh jumlah responden, yakni 48,9 persen, menjawab PSK-nya sendiri memang tidak bisa alih profesi.
Dengan segala pemahaman kognitif itu, tidak dengan sendirinya mereka lalu menoleransi adanya lokalisasi seperti Dolly. Sejumlah 70,1 persen responden menolak keberadaan lokalisasi Dolly. (BE SATRIO/LITBANG KOMPAS)

Ketika Rumah Tangga Berbaur dengan Wisma

(Kompas Minggu, 20 April 2008)
Meski kerap disebut "lokalisasi", yang berarti pembatasan pada suatu kawasan tertentu, hampir semua kawasan pelacuran di Kota Surabaya berbaur dengan masyarakat setempat. Rumah bordil dan rumah tangga biasa kerap berbaur dalam satu lingkungan.
Di Dolly-Jarak, rumah warga biasa sering ditempeli tulisan "rumah tangga", sedangkan rumah bordil disebut wisma. Namun, penghuni rumah tangga, termasuk anak-anak, bebas saja berkeliaran di tengah suasana mesum itu.
Anak-anak kecil di Jarak, misalnya, leluasa bermain di antara perempuan bergincu yang mejeng sejak sore. Saat malam, ketika musik dangdut koplo berdentum-dentum, anak-anak masih blusukan di gang-gang sempit yang jadi tempat transaksi seks.
"Kami bentengi anak-anak dengan belajar mengaji di masjid. Kami selalu kontrol agar mereka tidak keluyuran," kata Dwi (27), warga yang hidup di tengah lokalisasi di Jarak. Dua anaknya, Ari (9) dan Adi (2), tampaknya tumbuh baik-baik saja.
Di Bangunrejo, Moroseneng, atau Kremil (tiga kawasan pelacuran lain di Surabaya), juga tak ada batas antara lingkungan hunian umum dan wisma bordil. Selama ini suasana hampir damai-damai saja.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto, sebagian masyarakat yang tinggal di daerah lokalisasi justru memiliki daya resistensi atau pertahanan sendiri. Meski begitu, masyarakat tetap perlu diberdayakan agar bisa menjaga diri dari potensi terkena penyakit menular seksual, HIV/AIDS, peredaran narkona, dan kriminalitas.
Menurut catatan Yayasan Abdiasih, jumlah penduduk dan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Dolly yang positif menderita HIV/AIDS tiga tahun terakhir ini mencapai 50 orang. Empat di antaranya sudah meninggal. "Penyebaran penyakit ini banyak yang lewat jarum suntik narkoba atau seks bebas," kata Vera, yang nama aslinya Lilik Sulistyowati, Direktur Yayasan Abdiasih.
Beberapa LSM di sekitar Dolly sengaja menggalakkan program pemberdayaan masyarakat dan kampanye kesehatan reproduksi dan bahaya HIV/AIDS. "Kami prihatin, banyak remaja SMP atau SMA di sini yang suka jajan PSK di wisma. Kalau sudah ketagihan dan kepepet, remaja itu bisa melakukan apa saja untuk dapat uang, termasuk berbuat kriminal." kata Supriyono, pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Gerbang Permata di Kelurahan Pakis. (IAM/SHA)

Selasa, 22 April 2008

Jadi Mesin Uang di Dolly

Sebut saja namanya Eiffel (19) (segitunya Kompas, Eiffel terkenal sejak dihubungkan dengan Al Amin Nasution, yang ditangkap oleh KPK).
Meski mengaku baru tiga minggu menjadi penghuni Dolly, perempuan berkulit kuning langsat dan semampai tubuh 162 cm ini menjadi salah satu primadona laris Wisma "B". Orang bilang, wajah cantik Eiffel mirip penyanyi Nafa Urbach ....
"Baru tiga bulan saya bercerai. Anak saya dua tahun, kini diasuh ibu," ungkap Eiffel, yang lulusan SMA Negeri di sebuah kota di Jawa Tengah, "Ayah saya pensiunan pegawai pemda," katanya. Sang ibu, menurut Eiffel, hanya tahu kalau dirinya bekerja di pabrik di Surabaya.
Uang memang menjadi pangkal segala alasan, mengapa tiga minggu lalu (Kompas ketipu, jurus germo memang begitu, 3 minggu di Dolly tetapi sebenarnya sudah 3 tahun melacur di tempat lain) ia merantau dengan bus ke Surabaya. Dan, jurus kepepet (terdesak), menjadi pemicu utamanya melakukan pekerjaan jadi pelacur. Namun, pekerjaan ini ia lakukan bukan semata-mata didorong karena kemiskinan atau trafficking--yang umumnya menjadi alasan yang membawa perempuan seperti Eiffel ini melakukan pekerjaan sebagai pemuas seks.
"Sejak kelas III SMA saya memakai sabu, ikut-ikutan pacar yang dulu memerawani saya. Lepas waktu saya jadi (perempuan) panggilan, untuk cari uang buat beli sabu," ungkap Eiffel, yang mengaku kebiasaannya dulu adalah siang sekolah, sore nyabu, malam belajar dan terkadang "menerima panggilan".
"Anehnya, jika saya usai nyabu lalu belajar malam harinya, pelajaran seperti menempel di kepala saya. Maka, saya pun peringkatnya di kelas selalu urutan 1-3 ...," ungkap perempuan yang tangkas dan selalu nyambung jika diajak bicara ini. Tetapi gara-gara harus memenuhi kebutuhan sabu, Eiffel harus mengorbankan kemolekan tubuhnya untuk terkadang jadi panggilan. Maka, tubuh pun dipakai untuk menjadi pengayuh tiga tujuan: merengkuh pacar, meraup uang, demi membeli kebutuhan sabu....
Namun, lantaran kebiasaan parasit sang pacar yang di kemudian hari menjadi suami (tak mau kerja akan tetapi pengennya cuma "numpang mulya" sama istri), Eiffel pun tiga bulan lalu bercerai. Demi menghidupi anak dan memenuhi kebutuhan dirinya, Eiffel pun kini mendamparkan dirinya ke Dolly. Ia bahkan mengaku, ingin meneruskan kuliah lagi suatu saat nanti.
Mesin uang
Apapun alasan yang membawa Eiffel serta perempuan lain di Dolly dan Jarak--kompleks pelacuran yang lebih luas di sekitar Dolly--mereka mau tak mau harus menerima dalil ini: jadi mesin uang untuk diri sendiri dan orang sekitarnya jika jadi pekerja seks.
"Kerja dari pukul 16.00 sampai pukul 03.00, biasa melayani sekitar 10 tamu," uangkap Ana (28), perempuan berambut lurus, berkulit putih asal Pekalongan, yang baru jadi penghuni Wisma "T" di Dolly sejak sekitar bulan September 2007. Ana menjadi pelacur, setelah cerai dari suaminya, Usman (32), yang selingkuh dengan teman dekatnya.
Eiffel pun mengaku sekitar itu omzetnya per hari. Ia rata-rata menerima sembilan tamu dari pukul 18.30 sampai 03.00.
Omzet tinggi, tetapi jangan bayangkan penghasilannya berlimpah. Setiap tamu, membayar Ana Rp 72.000 untuk "ngamar" per jam. Namun dari jumlah uang itu, Ana hanya menerima Rp 31.000. Sisanya untuk germo pemilik wisma dan makelar yang menawarkan Ana pada tamu yang ngamar dengannya.
Eiffel pun kurang lebih demikian. Tarifnya memang Rp 130.000 per jam--termasuk tertinggi di kawasan Dolly--akan tetapi yang diterimanya hanya Rp 50.000 sekali ngamar. Yang Rp 50.000 lagi untuk sang germo, Rp 20.000 untuk sewa kamar dan Rp 10.000 untuk karyawan wisma yang menawarkan pada tamu.
"Premi dijanjikan dibayarkan setiap bulan. Dipotong untuk beli sabun, dan untuk merawat kecantikan," tutur Eiffel. Di atas meja di kamarnya yang seluas 4 x 4 meter (pakai AC, kamar mandi di dalam), tergeletak tube-tube krim untuk scrub dan oil lightening merk Ponds dan Vaseline penghalus kulit seperti yang biasa dipakai orang-orang kota. Parfumnya pun Bvlgari, Aqva pour homme ....
"Saya suka (parfum) yang untuk lelaki. Baunya lebih enak," ungkap Eiffel. Semua itu, katanya dibelinya melalui wisma. Tinggal potong premi bulanan. Harga produknya? Tentu saja tak sama dengan harga di luaran. Kan masih harus memberi ongkos jasa untuk yang membelikan?
Ambil contoh, bedak Pixi yang dipakai Ana. Jika di toko hanya Rp 14.000, di wisma "T" dijual Rp 25.000 untuknya. Kaus yang Rp 30.000 dibelinya seharga Rp 60.000. Celana panjang? Wah, tidak murah, Rp 150.000, bisa dicicil selama 15 hari, per harinya Rp 10.000. "Kalau tidak nyicil, tidak terbeli," gumam Ana.
Belum termasuk angsuran pinjaman Rp 10 juta dari sang germo, yang dicicilnya per bulan. Lumayan pinjaman itu dipakai Ana untuk mengangsur rumah sederhana 6 X 12 meter di Pekalongan seharga Rp 73 juta. Uang muka dibayarnya Rp 5 juta, angsuran Rp 700.000 per bulan.
Kebutuhan sehari-hari lainnya yang harus dibayar Ana adalah untuk jasa cuci dan layanan kesehatan Rp 110.000 per bulan. Belum termasuk kebutuhan beli sepatu dan pakaian dalam yang tentu saja tak sedikit biayanya.
Uang memang mengalir begitu cepatnya bagi pekerja seks di Dolly. seperti kata iklan, wess, ewesss-ewesss, bablas angine, Cepat datang dan cepat pula perginya.... (IAM/SHA)

Bagai "Septic Tank" di Rumah Kita

Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah ibu kota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya dikepung bisnis jasa seks itu. (Oleh Ilham Khoiri & Jimmy S Harianto, Kompas, Minggu, 20 April 2008)
Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan, pangkalan Angkatan Laut (Armatim, Armada Timur), dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19, Surabaya sudah dikenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi sejarah Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864, terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an, muncul lokalisasi yang terkenal, yaitu Kembang Jepun. Para pelacur di situ melayani hasrat seks tentara yang mencari hiburan di tengah perang. Setelah kemerdekaan, bisnis seks di kota ini bukannya berhenti, tetapi malah semakin marak.
Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Wonokromo.
Saat perpindahan itu, muncul sindiran terkenal di tengah rakyat. Bir temulawak, balon Jagir pindah neng Jarak," Kata Kartono, mantan germo di Jarak.
Kawasan pelacuran besar juga berkembang di bagian utara Surabaya, tepatnya di Bangunsari/ Bangunrejo, Kecamatan Krembangan. Tak jauh dari situ, ada lagi bisnis jasa seks di Kremil. Para pelacur di kedua tempat ini melayani kalangan kelas bawah, terutama para awak kapal dari Tanjung Perak.
Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Surabaya, terdapat kompleks pelacuran Moroseneng, di Desa Sememi, Kecamatan Benowo. Berdampingan dengan lokasi ini, tumbuh juga kegiatan pelacuran di Desa Klakah Rejo, Kecamatan Benowo. Kedua kawasan ini biasa digunakan untuk pelesiran kalangan menengah.
Menurut hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gajah Mada dan International Programme on the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC), total PSK yang tercatat di enam kawasan itu sebanyak 8.440 orang. Namun, angka yang sesungguhnya diperkirakan mencapai 12.432 orang.
Jumlah itu belum memperhitungkan praktik prostitusi liar yang berlangsung di beberapa titik, seperti di kompleks makam Kembang Kuning-Sido Kumpul, di kawasan Jalan Diponegoro, atau di kawasan sekitar monumen bambu runcing di Jalan Panglima Sudirman. Apa mau dikata, Kota Surabaya seperti dikepung praktik pelacuran. Wajar saja, jika tahun 1980-an, kota ini sempat diolok-olok sebagai "kota prostitusi".
Dolly
Di antara enam kawasan pelacuran itu, Dolly-lah yang menjadi primadona. Saking masyhurnya, sampai banyak kalangan yang beranggapan, Dolly sudah jadi salah satu ikon Kota Surabaya. Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota itu kalau belum mampir ke sana.
Dolly memang punya sejarah unik, lokasi strategis, dan cara menjajakan pelacur yang dramatis. Menurut Tjahjo Purnomo Wijadi, peneliti Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS), yang pernah meneliti prostitusi Dolly untuk Skripsi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pada mulanya Dolly hanyalah kawasan pemakaman China di daerah pinggiran kota yang sepi. Tahun 1960-an , makam itu banyak dibongkar untuk dijadikan hunian.
Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu.
"Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an," kata Tjahjo.
Seiring dengan perkembangan zaman, Dolly menjelma sebagai lokalisasi yang strategis di tengah kota dan dikelilingi pemukiman padat. Atraksi penawaran PSK dengan memajang mereka dalam etalase kaca seperti "ikan dalam akuarium" punya daya tarik tersendiri. Meski tak tampak ada papan nama bertuliskan "Dolly", daerah itu menjadi magnet yang menggaet para lelaki penggemar pelesiran.
"Septic tank"
Kenapa prostitusi tumbuh subur di Surabaya?
"Karena Surabaya itu kota besar dan kota pelabuhan. Banyak orang singgah di sini dan itu pasar bagi prostitusi. Artinya, ujung-ujungnya kan soal supply and demand," kata L Dyson P, Ketua Program Studi S-3 Ilmu-ilmu Sosial di Unair Surabaya.
Fenomena prostitusi menggeliat bersama perkembangan kota. Hampir semua kota di dunia punya kawasan "lampu merah".
"Pada kasus Surabaya, germo dan pelacur sangat berperan dalam membuka kawasan baru dan mengembangkannya jadi kota," kata Dyson menambahkan.
Menurut guru besar Ilmu Sosial Unair, Soetandyo Wignyosoebroto, suka atau tidak suka, pelacuran memang nyata-nyata ada dan hidup bersama masyarakat Surabaya. Kegiatan itu ada karena punya fungsi sosial. "Prostitusi di kota itu bagaikan septic tank di rumah kita. Fungsinya untuk menampung kotoran atau sampah." katanya.
Terlepas dari kaca mata moral, lokalisasi justru penting untuk mengumpulkan dan mengontrol "barang najis" di satu kawasan tertentu. Di situ pemerintah bisa mengawasi persoalan kesehatan, keamanan, narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Jika lokalisasi ditutup, barang najis itu akan berceceran ke mana-mana dan menjadi semakin sulit dikendalikan.

Bos, Mampir Bos!

Kawasan Pelacuran di Dolly dan Jarak, Surabaya, seperti gula yang dikerumuni semut. Di balik sensasi bursa seks yang menggeletarkan berahi, menggeliat pula bisnis bernilai miliaran rupiah yang menguntungkan ribuan orang. Wacana relokasi pun akhirnya berbenturan dengan bermacam kepentingan, (Ilham Khoiri & Jimmy S Harianto, Kompas Minggu, 20 April 2008).
Denyut kehidupan Dolly di Jalan Kupang Gunung Timur I sepanjang 150-an meter di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, dimulai saat petang. Demikian pula sepanjang Jalan Jarak-jalan utama kawasan pelesiran terbesar di Surabaya ini.
Ketika hari beranjak gelap, lampu di puluhan wisma Gang Dolly yang berderet di kiri-kanan jalan itu menyala. Sinar gemerlapan menyoroti tubuh-tubuh perempuan yang duduk mejeng di kursi sofa dalam etalase dengan dinding kaca tembus pandang.
Ratusan orang berjalan kaki hilir mudik sambil celingukan memelototi para perempuan berdandan seksi yang dipajang bak dagangan itu. Mereka-biasa disebut pekerja seks komersial (PSK)-memperlihatkan ekspresi malu, cemas, sekaligus menggoda.
"Bos, mampir, bos. Hanya Rp 80.000,- pelayanan dijamin oke. Karaoke atau Minakjinggo. Miring penak, jengking monggo!" Begitu para makelar itu berlomba menawarkan "dagangannya" dengan sapaan sok akrab sambil menyeret lengan orang-orang yang lewat.
Etalasenya mirip dengan etalase hidup di Zeedijk, distrik lampu merah dan pelacuran terkenal dekat Centraal Station, stasiun besar di kota Amsterdam, Belanda. Akan tetapi, jika di Zeedijk para penjaja seks-nya berpose berdiri di etalase dan lenggang-lenggok seperti di catwalk, maka di Dolly mereka duduk berjajar di sofa empuk, di balik etalase di pinggir jalan. Disorot lampu terang benderang....
Setelah itu, semuanya berlangsung singkat. Pengunjung yang berhasrat tinggal menunjuk perempuan yang diminati. Makelar-di beberapa wisma bahkan memakai seragam batik lengan pendek-segera menuntun si tamu ke kamar "praktik" di wisma.
Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga bedenyut. Itu terlihat dari ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang disulap jadi lahan parkir. Tarif parkir mobil sekitar Rp 20.000,- motor Rp 3.000,- Jika menginap, tarifnya bisa berlipat.
Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak itu pun menjadi riuh oleh "teng-teng" tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu.
"Sudah lima tahun saya jualan di sini. Pendapatan kotor rata-rata Rp 400.000 per malam," kata Supin (46), pedagang kaki lima yang menjual aneka minuman dan rokok di Jalan Jarak, di ujung Gang Dolly.
Suasana di lokalisasi Jarak, yang tersebar di perkampungan padat di seberang Dolly, juga begitu. Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat di pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain.
"Cuci satu baju Rp 1.000,- celana panjang Rp 1.500,- satu singlet Rp 500,-. Satu hari saya bisa dapat Rp 30.000,-" kata Narti (37), warga Putat Jaya yang menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun terakhir.
Keramaian di Dolly dan Jarak menggambarkan, betapa banyak orang yang kecipratan rezeki. Keberadaan bisnis seks itu terlanjur memberikan multiplying effect (dampak berganda) yang menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Pada titik tertentu, bahkan sebagian masyarakat sudah menggantungkan kebutuhan hidup dari situ.
Miliaran rupiah
Kawasan Dolly, yang mencakup RW 12 dan RW 6 dan hanya sepanjang sekitar 150 meter, diperkirakan mempunyai 55 wisma dan sekitar 530 PSK. Masing-masing wisma menampung sekitar 10-30 PSK. Itu menurut data terakhir yang dihimpun Yayasan Abdiasih, lembaga swadaya masyarakat di Dolly. Di lokalisasi Jarak di perkampungan seberang Dolly yang seluas tiga hektar, itu ada 400-an wisma dengan 2.155 PSK yang tersebar di RW 10, RW 11, dan RW 3.
Jika Dolly identik dengan jasa seks bagi kalangan kelas menengah, Jarak lebih murah dan banyak didatangi kelas bawah. Jasa PSK di Dolly sekitar Rp 70.000,-- Rp 130.000, untuk sekali kencan selama satu jam. Di jarak, tamu hanya perlu merogoh kocek Rp 60.000,-- Rp 70.000,- sekali kencan.
Sebenarnya berapa jumlah uang yang beredar di Dolly-Jarak setiap malam?
Jika satu PSK melayani sekitar 10 tamu per malam dengan tarif rata-rata Rp 100.000,- sekali kencan, uang yang beredar di Dolly sekitar Rp 530 juta per malam. Dengan perhitungan satu PSK di Jarak punya tiga tamu dengan tarif Rp 70.000 sekali kencan, maka transaksi bisnis seks di situ mencapai Rp 452,55 juta per malam.
Jadi, total uang yang beredar di Dolly dan Jarak mencapai Rp 982,55 juta per malam. Jika hitungan itu diperpanjang selama satu bulan, total peredaram uang di dua kawasan itu berkisar Rp 29,476 milliar per bulan! Itu pun hanya menghitung jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain yang mencapai ratusan juta rupiah.
Taruhlah jika satu wisma menjual dua kerat bir seharga Rp 250.000 per kerat, maka total transaksi penjualan bir dari 455 wisma di Dolly-Jarak mencapai Rp 227,5 juta per malam. "Itu hitungan minimal. Pendapatan kami dari menjual bir malah sering Rp 1 juta per malam," kata Bambang (42), pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly.
Roda ekonomi miliaran rupiah itu berpangkal pada jasa pelayanan seks oleh PSK. Dari total tarif jasa pelayanan kencan, seorang PSK rata-rata hanya menerima separuhnya, bahkan kurang. Separuh lagi masuk kantong germo atau mucikari. Sebagian kecil disimpan sebagai laba bersih, sebagian lagi untuk membiayai operasional wisma, membayar makelar, preman, keamanan, dan berbagai pungutan lain.
Begitulah, dalam bisnis seks PSK adalah mesin industri yang menghidupkan hampir semua lini. Mereka dieksploitasi untuk mendulang uang yang dinikmati banyak kalangan. Jika sudah beranjak tua dan kehilangan pesona seksual, dengan sendirinya PSK itu bakal tersingkir.
Relokasi
Di luar hitung-hitungan bisnis tadi, sebagian masyarakat Surabaya menginginkan, Dolly-Jarak dipindah saja ke wilayah pinggiran kota. Alasannya, praktik pelacuran itu menyalahi aturan dan moral agama. Apalagi, kawasan tersebut berada di tengah kota yang padat pemukiman sehingga dikhawatirkan berdampak buruk bagi masyarakat.
Wacana relokasi Dolly-Jarak sudah muncul sejak tahun 1984, ketika Kota Surabaya dipimpin Wali Kota Muhaji Wijaya. Namun, sampai kini, wacana itu timbul tenggelam tanpa kejelasan. Banyaknya kepentingan yang bermain dalam bisnis milliaran rupiah disitu akhirnya mengandaskan rencana relokasi.
Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya Muhammad Munif menegaskan, pemerintah tidak pernah memberi izin pada lokalisasi di Dolly-Jarak yang tumbuh alami sejak tahun 1960-an. "Secara hukum sudah jelas, prostitusi dilarang. Tapi, kami tidak bisa merelokasi begitu saja karena masalahnya kompleks," katanya.
Meskipun demikian, menurut Camat Sawahan Dwi Purnomo, isu relokasi itu "baru sebatas wacana di luaran". Di kalangan masyarakat setempat di Dolly dan Jarak sendiri, menurut Dwi Purnomo, "tidak ada gejolak". Artinya, tak ada protes warga setempat terhadap kegiatan di Dolly.
"Saya sendiri belum dengar adanya rencana penggusuran. Kalau toh ada, tentunya saya orang pertama yang diberitahu. Itu baru sebatas wacana saja," kata Dwi Purnomo.
Memang wacana relokasi perlu disertai berbagai pertimbangan sosial-ekonomi yang matang. Salah satunya, jika Dolly-Jarak dipindah, bagaimana nasib ribuan orang yang terlanjur menggantungkan hidupnya dari bisnis seks itu?